Tertangkap
tangannya Bupati Klaten beberapa waktu lalu oleh KPK harusnya menjadi triger
untuk pembenahan mental aparatur sipil di negeri ini. Padahal, jual beli
jabatan sebenarnya bukanlah rahasia lagi, karena sedari dulu sudah menjadi
peluang usaha bagi pejabat terpilih saat itu. Tidak saja terjadi di lembaga
pemerintahan daerah atau pusat, bahkan lembaga yang bergerak dibidang penegakan
hukum. Hal ini sudah jadi mata rantai yang tak terpisahkan yang dimulai
siklusnya dari pemilihan pejabat yang akan menduduki suatu kursi jabatan
tertentu entah kepala dinas, kepala lembaga, atau pimpinan disuatu bidang.
Apabila dia adalah kepala daerah siklus dimulai ketika pemilu, apabila dia
adalah calon pimpinan suatu lembaga siklusnya dimulai ketika pemilihan
pengganti dari pimpinan sebelumnya. Siklus ini akan berlangsung terus menerus,
sampai ketika ada yang "berani" memangkas siklus ini dengan penegakan
hukum serta perbaikan sistem yang tidak memungkinkan para pejabat pemegang
kuasa memanfaatkan peluang usaha yang tidak seharusnya.
Kasus yang terjadi di Klaten hanya salah satu contoh yang
terungkap ke publik. Di daerah lain di seluruh Indonesia, hal yang sama juga
terjadi. Mungkin, ketika kasus ini terungkap, deg deg serr terasa di jantung
para pejabat yang tak amanah. Itu bagi mereka yang merasa, yang melakukan
perilaku yang sama. Saya ambil contoh di daerah saya. Ayah saya seorang PNS
yang kini sudah pensiun, sering bercerita beberapa rekan dekat atau jauh yang
ingin naik jabatan biasanya rajin menyambangi pendopo dimana biasanya pejabat
tingginya (bupati/walikota) berada. Meski hanya sekedar nongkrong, ngopi atau
ngobrol saja. Misinya adalah lobi, agar memuluskan jalannya untuk menduduki
posisi yang diinginkan. Entah berapa mahar yang perlu disiapkan untuk itu. Ayah
saya tidak banyak bercerita soal itu, karena memang beliau tidak berminat
mengikuti jejak rekan-rekannya. Dan dibuktikan, jabatan ayah saya yang bergerak
lambat, berbeda dengan rekan-rekannya yang pintar, dan jeli memainkan "lobi-lobi"
untuk mengejar posisi yang diinginkan.
Di tempat lain, pasti banyak cerita seperti ini, yang memang
sungguh terjadi. Bahkan kalau mereka pejabat yang mendapat posisinya dari hasil
jual beli mau menceritakan secara jujur, semuanya pasti akan terbongkar,
praktik jual beli semacam ini. Tapi kenyataannya, jarang ada pejabat yang mau
jujur atas pencapaian yang diperoleh dari hasil jual beli.
Praktik jual beli jabatan ini muncul karena seorang pejabat
pemegang kuasa tidak punya amanah. Pejabat demikian melihat peluang sekecil
apapun sebagai peluang usaha untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah. Tanpa
memikirkan apa makna dan tujuan jabatan yang sedang dia sandang saat itu. Yang
ada di dalam benak adalah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk menutup
"kerugian" ketika ybs belum mendapatkan posisi yang diinginkan
tersebut.
Solusi dari permasalahan ini memang harus muncul dari jiwa
pemimpin sejati yang amanah, yang melihat posisi atau jabatan adalah amanah dan
tanggung jawab yang harus dituntaskan untuk kemanfaatan orang banyak. Ketika
jiwa kepemimpinan yang amanah ini tidak ada, mustahil mampu memutus siklus jual
beli jabatan seperti ini.
Solusi lain adalah pembenahan sistem. Cara yang bisa dilakukan
adalah dengan sistem lelang jabatan, dimana individu yang berpotensi dan punya
jiwa kepemimpinan yang baik lah yang punya peluang memperoleh kursinya dari
hasil persaingan yang sehat. Cara ini lebih elegan dan gentleman. Dan ketika
posisi yang diinginkan sudah diraih, tidak sampai di situ saja, evaluasi terus
dilakukan untuk menjaga kualitas pejabat terkait di posisinya, untuk memberikan
pelayanan prima terhadap publik. Sistem yang baik ini memperkecil, pejabat
pemegang kuasa ikut campur dalam proses lelang jabatan ini. Karena semuanya
sudah tersistem dan dilakukan dengan prinsip transparansi, sehingga publik
mampu menilai, dan apabila ada trik kecurangan didalamnya akan dengan mudah
dilihat.
Solusi komprehensif dari itu semua adalah penegakan hukum yang
tegas ketika ada pelanggaran yang terjadi. Apapun itu tanpa memandang status
dan jabatan si pelanggar. Penegakan hukum yang tak pandang bulu, ketika
menyalahi aturan tindak tegas. Penindakan hukum ini sebagai pemberi efek jera
terhadap pelakunya.
Saya pribadi menilai dari sekian banyak kabupaten/kota, dan
provinsi di Indonesia, tidak banyak yang melakukan solusi-solusi yang baik
tersebut. Bisa dihitung dengan jari. Dan daerah-daerah tersebut memang dipimpin
oleh pemimpin yang amanah. Pemimpin DKI Jakarta (2012-2017) salah satu daerah
yang menurut saya sudah dan sedang melakukan cara untuk memutus siklus jual beli
jabatan ini, melalui proses lelang jabatan. Dan hal inilah yang jadi masalah
bagi pejabat-pejabat korup di DKI Jakarta yang sangat tidak menginginkan
pemimpin yang amanah. Hingga perlu digoyang untuk "ditumbangkan"
dengan berbagai cara. Solusi penegakan hukum menurut saya yang belum berjalan
baik di DKI Jakarta, sehingga siklus jual beli jabatan ini masih berusaha
dikembalikan ke jalannya yang sesat.
1 Komentar
Seperti kasus yang menimpa Bupati Cirebon, tertangkap KPK, kasusnya ya tidak jauh dari bidang yang saya bicarakan di atas. #khawus
BalasHapusTinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6